Konsep tentang kesalehan (sholih) dan kemuliaan (akrom) merupakan dua nilai utama dalam Islam yang saling melengkapi satu sama lain. Kesalehan menggambarkan kepatuhan seorang hamba kepada Allah ﷻ, sementara kemuliaan menunjukkan posisinya di hadapan manusia dan Allah ﷻ. Al-Qur’an menekankan bahwa kemuliaan yang sebenarnya di sisi Allah tidak diukur dari kekayaan, garis keturunan, atau kelas sosial, tetapi dari tingkat ketakwaan. Setiap muslim diharapkan menjadi sosok yang saleh dan akrom agar memperoleh keridhaan Allah ﷻ dan memberikan manfaat bagi orang lain (Imam Nawawi, Al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab, juz 1)
Makna Saleh dan Akrom
Secara bahasa saleh berasal dari kata shalaha-yashluhu yang berarti baik, lurus, dan sesuai, sedangkan secara istilah amal saleh sering digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah ﷻ:
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَدْخُلُونَ ٱلْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. (QS. An-Nisa: 124)
Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa amal saleh dalam ayat ini adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan iman dan sesuai dengan syariat (Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, juz 5).
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3289).
Hadis ini menjelaskan bahwa kebaikan tidak hanya berupa ritual ibadah, tetapi juga termasuk kontribusi nyata untuk kemaslahatan masyarakat.
Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumumuddin menjelaskan:
“الصالح” هو كل ما يعود بالنفع ويتوافق مع مقاصد الشريعة الأساسية
Saleh adalah setiap perkara yang mendatangkan kemanfaatan (mashlahah) dan sesuai dengan dasar maqosidus syari’ah.
Sedangkan kata akrom berasal dari bahasa arab karuma yang memiliki arti terhormat atau mulia. Konteks dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa derajat kemuliaan yang sebenarnya hanya diukur berdasarkan tingkat ketakwaan, sebagaimana firman Allah ﷻ:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa”. (Q.S Al-Hujurat: 13).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah tidak mengakui kemuliaan yang didasarkan pada keturunan atau kekayaan seseorang, melainkan ukuran kemuliaan yang sebenarnya hanyalah ketakwaan.( Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz 7).
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ كَرِيْمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ وَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأَخْلَاقِ وَ يَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah Maha Pemurah menyukai kedermawanan dan akhlak yang mulia serta membenci akhlak yang rendah.” (HR. Al-Hakim (I/48), dishohihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shohiihah (no. 1378).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa akrom bukan sekadar masalah kedudukan dalam sosial masyarakat, melainkan juga mengenai sifat-sifat baik yang muncul dari keimanan.
Karakteristik Kesalehan
K.H. Misbahuddin Nashan, M.Pd. dalam pengajian tematik menjelaskan:
1. Maslahah mu’tabarah: maslahah yang diakui, tepat dan sesuai jalur syar’i , yakni maqosidus syariah:
2. Maslahah mulghoh: menciptakan kenikmatan tetapi orang lain terganggu semisal makanan pedas dianggap nikmat bagi mereka yang suka pedas, tetapi bagi orang yang sedang hamil akan menjadi madharat.
Kisah ini mengindikasikan bahwa Kesalehan seseorang yang kita wujudkan dan ikhtiyarkan pada saat kita masih aktif atau hidup tidak mampu menuntut keberhasilan saat keberadaan kita di dunia, akan tetapi bagi Allah sangat memungkinkan hal itu menjadi maslahah dan saleh pada saat kita berpisah atau sudah tiada.
لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Anfal:63).
Ayat ini menceritakan ketika suku Aus dan Khazraj bermusuhan dalam waktu yang cukup lama, bahkan ratusan tahun, akan tetapi mereka dapat kembali bersama dan saling meninggalkan kesukuannya sehingga terjalin persatuan dan kesatuan. Hal ini menunjukkan bahwa solusi tidak selamanya berupa materi dan kesalehan yang berupa persatuan dan kesatuan yang hakiki tidak mungkin terwujud hanya dengan harta kekayaan, akan tetapi harus didasarkan atas keluhuran budi dan ketulusan jiwa.
Integrasi Saleh dan Akrom
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diawal bahwa kesalehan menggambarkan kepatuhan seorang hamba kepada Allah ﷻ, sementara kemuliaan menunjukkan posisinya di hadapan manusia dan Allah, maka seorang muslim hendaknya menyatukan kedua karakter ini:
Seorang pemimpin yang saleh dan akrom akan bersikap adil dan peduli terhadap bawahannya dan seorang profesional yang saleh dan akrom akan melaksanakan tugasnya dengan kejujuran dan tanggung jawab.
*Disarikan dari pengajian tematik yang disampaikan oleh beliau K.H Misabahuddin Nashan, M.Pd dan dari sumber lainnya, Rabu (17/09/2025)
Kontributor: Muhammad Kholilur Rohman